Insya Allah, Yang Esensinya (Kian) Tereduksi

Remaja muslim kontemporer emang aneh. Tentu hanya sebagiannya. Itu yang ada di pikiran saya kemarin. Begini kisahnya. Kemarin teman saya menanyakan perihal kesanggupan saya bikin janji wawancara dengan dokter Senin besok. Dan dengan yakinnya saya jawab “Insya Allah”. Sampai di situ tidak ada yang aneh memang. Tapi setelah saya mengucapkan kalimat “Insya Allah” itu spontan teman saya menimpali “Yah Insya Allah. Berarti ga bisa donk??!”

Waduh?? Sebenernya dia ngerti ga sih makna Insya Allah?

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap sesuatu: “Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi, kecuali (dengan menyebut): “Insya Allah”. Dan ingatlah kepada Tuhan-Mu jika kamu lupa dan katakanlah “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini.” (Q.S Al-Kahfi 18: 23-24)

Jelas sekali kalau Insya Allah adalah ucapan janji yang paling tinggi. Insya Allah secara harfiah berarti “Jika Allah Menghendaki”. Yang artinya, selama tidak ada halangan yang berat dan masih memungkinkan untuk memenuhi janji tersebut maka wajiblah baginya untu memenuhi janjinya. Sebab kalau sampai dilanggar, artinya dia telah mendistorsikan ucapan Allah. Karena ketika dia melanggar janji, sama saja dia mengatakan “Allah tidak menghendaki saya untuk memenuhi janji” padahal yang sebenarnya terjadi adalah Allah mengizinkannya. Bayangin, mendistorsikan ucapan manusia aja dosa, apalagi kalimat Allah?? Astagfirullah..

Yah, begitulah fakta yang ada saat ini. Sebagian dari kita hanya menganggap kalimat Insya Allah sebagai eufemisme dari kata tidak. Mereka mengucapkan Insya Allah hanya karena ga enak hati untuk bilang tidak bisa, yang dianggap kurang sopan. Hingga saat ini kalimat Insya Allah telah mengalami oversimplikasi dan pada akhirnya disepelekan karena dianggap sebagai “janji main-main”.

Sebegitu tak pantaskah ucapan itu di masa sekarang hingga banyak orang (termasuk teman saya tadi) tidak lagi menganggap kalimat itu sebagai suatu kepastian untuk memenuhinya? Apakah setiap orang kini menginterpretasikan kalimat Insya Allah sebagai suatu ketidakpastian sehingga mereka menginginkan kata “pasti” untuk lebih meyakinkannya? Menurut hemat saya, silahkan saja orang mengatakan “saya PASTI datang”, “besok PASTI tidak hujan”, dan pasti-pasti yang lain. Hanya saja, orang yang boleh mengucapkannya hanyalah orang yang mampu melampaui ilmu Allah, atau minimal bisa menyamai-Nya. Dia bisa memperkirakan apa yang akan terjadi satu detik lagi, satu jam lagi, atau satu hari lagi. Tapi adakah manusia yang mampu melakukannya? Saya rasa tidak akan ada kecuali dukun yang “sok tau”, yang cuma bisa memberikan 1 kebenaran dari 1001 ucapannya. Sedangkan 1000 lainnya adalah bohong. Bahkan anda tidak akan bisa memprediksi apa yang akan terjadi setelah anda selesai membaca artikel ini.

Lain hal dengan kalimat Insya Allah. Sebagai ciptaan Allah, kita hanya bisa menyerahkan segala urusan –termasuk janji- kepada-Nya. Perihal Allah mengizinkan kita memenuhinya atau tidak itu belakangan. Namun kita tetap harus yakin bahwa Allah akan mengizinkannya. Kalaupun tidak diizinkan, pasti ada hikmah dibalik itu. Dan kita tidak lagi memiliki hutang janji karena sejak awal kita sudah mengatakan “Jika Allah Mengizinkan”. Tapi jika tidak ada halangan yang berarti -yang membuat kita betul-betul tidak bisa memenuhi janji tersebut- maka diwajibkan baginya untuk memenuhi janjinya dikrenakan Allah telah mengizinkannya.

Wallahu a’lam bisshawab

0 komentar:

:nangis :rate :lebay :hoax :nyimak :hotnews :gotkp :wow :pertamax :lapar :santai :malu :ngintip :newyear

Posting Komentar

silahkan dikomentari dengan bijak